Minggu, 07 Juli 2013

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Saya punya istri yang lagi menyusui, belum lama ini dia bertanya soal masalah puasa yang sebentar lagi akan datang, "bagaimana hukumnya puasa bagi orang yang menyusui kalau tidak puasa harus di Qadha atau Fidyah??"  waduh ngetes nih (dalam hatii).

Jawaban saya sih waktu itu bayar fidyah ajah dan ga harus Qadha. Tapi dalam hati nih bener apa ngga yah soalnya dulu sih pernah baca di buku Fiqih Puasa karangan Dr. Yusuf Qardawi sih ada salah satu imam yang mengatakan boleh bayar Fidyah saja dikarenakan disamakan dengan orang sakit. (maklum anaknya dua).

Dikarenakan saya lagi males ngetik tentang pembahasan yang ada di buku tersebut akhirnya saya tanya ustad google dan nemu pembahasan yang ini:

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Penyusun: Ummu Ziyad
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.
Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008

Sumber : http://muslimah.or.id/fikih/antara-qadha-dan-fidyah-bagi-ibu-hamil-dan-menyusui.html

Penentuan Awal Ramadhan, Mengapa Beda?

Oleh Alfirdaus Putra
HAMPIR setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah awal puasa dan berhari raya. Pemerintah dan pengurus lembaga-lembaga Islam seperti ormas disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan Ramadhan dan Syawal tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat sebagai pengikut setia acap kali dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan Ormas serta lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda.
Selayaknya hal ini tidak menjadikan perpecahan pada umat Islam walaupun tidak jarang karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul kesalahpahaman dan gesekan-gesekan di antara masyarakat. Masing-masing menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas atau lembaga yang diikutinya dan menganggap salah yang lain, tanpa mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan patokan sebagai pentuan awal dan akhir puasa oleh masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.
 Metode penentuan
Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan yang digunakan oleh pihak yang ber-ijtihad. Selama ini dikenal dua metode yang utama dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari interpretasi terhadap Alquran maupun hadis yang menjelaskan tentang tata cara memulai mengakhiri puasa.
Metode rukyah menggunakan pengamatan langsung dengan mata (rukyah bil-ain), sementara metode hisab menggunakan pengamatan tak langsung dengan mengandalkan hitungan ilmiah (rukyah bil-ilmi). Meski begitu, kedua metode ini tetap memakai Ilmu Hisab atau Ilmu Falak dalam prosesnya masing-masing. Hanya saja metode rukyah masih memakai pengamatan fisik sebagai final keputusan sedangkan metode hisab cukup dengan perhitungan ilmiah semata tanpa perlu lagi membuktikan dengan pengamatan fisik.
Dalam menentukan masuknya awal bulan kelompok yang berpedoman pada rukyat murni yang menetapkan awal bulan hijriah hanya observasi hilal semata, menghasilkan istimbat hukum apabila hilal tampak pada saat observasi, maka ditetapkan tanggal 1 bulan baru keesokan harinya dan apabila bulan tidak tampak maka di-istikmal-kan (disempurnakan) 30 hari bulan yang sedang berjalan.
Metode yang kedua adalah metode hisab murni berpedoman pada konsep wujudul hilal, yaitu konsep yang menyatakan bahwa keberadaan hilal tidak perlu di-rukyat tetapi cukup dengan perhitungan saja, karena apabila hilal sudah ada secara perhitungan maka dianggap sudah ada secara substansi walaupun tidak mungkin dilihat baik karena terlalu rendah atau tertutup awan, konsep ini sangat berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu.
Kementerian Agama RI sebagai lembaga negara yang berwenang menetapkan awal Ramadhan secara resmi dalam sistem ketatanegaraan kita menggunakan metode imkanur rukyah (kemungkinan hilal dapat di-rukyat) dalam penentuan awal bulan qamariah. Metode ini menyatakan bahwa hilal dianggap terlihat dan keesokannya dapat ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila: Pertama, ketika matahari terbenam, altitude (ketinggian) bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat; Kedua, jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan; Ketiga, ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku. Hal ini didasarkan pada pengalaman  astromonis seluruh dunia yang belum pernah dapat mengobservasi hilal jika belum memenuhi kriteria di atas dan tentunya dengan bukti yang otentik.
 Hilal 1434 Hijriah
Awal Ramadhan 1434 Hijriah ini, kembali memunculkan perbedaan sebagai konsekuensi dari perbedaan metode yang digunakan. Hasil perhitungan Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Aceh merilis bahwa ijtima’ awal Ramadhan terjadi pada 8 Juli 2013 pukul 14:16:07 WIB, ketinggian hilal berada pada posisi 0 derajat 06 menit 42 detik di atas ufuk untuk markaz Observatorium Hilal Pantai Lhoknga, Aceh Besar, dengan posisi hilal berada pada azzimuth 287 derajat 42' 48" dari titik utara. Hilal berada di sebelah kanan matahari atau sebelah kiri pemantau ketika matahari terbenam.
Beberapa daerah lainnya di Indonesia, ketinggian hilal juga rendah, seperti Jakarta 0 derjat 28' 20", Surabaya 0 derajat 21' 50", Medan 0 derajat 06' 30"  bahkan untuk sebagian Indonesia bagian tengah dan timur piosisi hilal masih negatif atau di bawah ufuk, seperti Samarinda -0 derajat 0' 47", Gorontalo -0 derajat 01' 30", Ambon -0 derajat 01' 04" dan Jayapura -0 derajat 04' 31". Sampai saat ini, hilal yang dapat dilihat dan dibuktikan secara astronomis adalah pada ketinggian 2 derajat.
Merujuk pada keadaan hilal 29 Syakban, maka awal Ramadhan tahun ini rentan terjadi perbedaan karena berbeda dalam metode istimbath hukum sebagaimana penulis sebutkan tadi. Beberapa kelompok masyarakat yang menggunakan metode hisab dengan konsep wujudul hilal-nya menyatakan bahwa 1 Ramadhan akan jatuh pada Selasa 9 Juli 2013, karena secara substansi hilal sudah ada di atas ufuk walaupun belum mungkin di-rukyat. Konsep wujudul hilal ini belum berlaku untuk wilayah sebagian Indonesia tengah dan timur.
Bagi para ahli falak yang tetap berkonsekuensi pada keharusan rukyat, maka keputusan 1 Ramadhan harus terlebih dulu menunggu hasil rukyat yang dilaksanakan pada Senin bakda Magrib, 8 Juli mendatang. Jikalau hilal tampak dilihat maka Ramadhan jatuh pada esok harinya yaitu Selasa 9 Juli, tetapi jika hilal tidak berhasil terpantau, maka Ramadhan di-istikmal-kan (disempurnakan) 30 hari dan itu berarti 1 Ramadhan jatuh pada Rabu 10 Juli 2013.
Kementerian Agama RI mencoba “menyatukan” khilafiyah ini dengan menggunakan konsep imkanurrukyat. Secara metode imkanur-rukyat, Ramadhan tahun ini kemungkinan jatuh pada Rabu 10 Juli 2013, karena metode ini mensyaratkan ketinggian hilal yang memungkinkan untuk di-rukyat harus berada minimal 2 derajat di atas ufuk sedangkan ketinggian hilal saat itu hanya 0 derajat 06' 42" di atas ufuk untuk markaz Pantai Lhoknga, dan posisi hilal di seluruh Indonesia juga masih berada di bawah dua derjat bahkan minus.
Akan tetapi, jika hilal terlihat pada 29 Syakban, maka awal Ramadhan bisa saja jatuh pada Selasa 9 Juli dan tentunya akan ada kajian lebih lanjut dari para ahli falak terhadap perubahan keriteria ketinggian hilal dalam metode imkanur-rukyat. Sedangkan Hari Raya Idul Fitri kali ini Insyaalah akan sama, yaitu pada Kamis 8 Agustus 2013, karena ketinggian hilal pada 29 Ramadhan telah berada pada posisi 2 derajat 53 aksen. Keputusan 1 Syawal tetap menunggu hasil Sidang Itsbat Menteri Agama RI berdasarkan laporan Tim Rukyat yang telah disebar di seluruh Indonesia.
 Upaya penyatuan
Upaya penyatuan kriteria awal bulan Hijriah itu sudah lama dilakukan pemerintah. Akan tetapi kesepakatan ini tak kunjung datang. Perbedaan interpretasi terhadap dalil masih menjadi kendala utama. Pemahaman yang sama tentang dalil yang melandasinya menjadi faktor utama dan insya Alah setelah itu, sistem kalender yang bisa diterima secara global dan berbasis pada data ilmu pengetahuan yang kuat akan lahir seiring dengan persamaan persepsi ini. Selama perbedaan ini masih muncul, masyarakat muslim hendaknya tetap menjaga silaturrahmi dalam menanggapinya dan tentunya lebih cerdas memilih dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah sesuai dengan ketetapan Allah dan RasulNya.
* Alfirdaus Putra, SHI, Tenaga Hisab Rukyat Kanwil Kemenag Aceh dan Sekretaris Bidlitbang Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Aceh. Email: alfirdausaceh@gmail.com

Jumat, 05 Juli 2013

KHUTBAH JUMAT HARI INI: 5 KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM PADA ISLAM

Ada 5 kewajiban bagi seorang muslim terhadap agamanya atau islam, apa aja sih 5 kewajiban itu? ok kata khatib pas jumatan tadi:

1. Seorang muslim wajib mempelajari Islam 

Seorang muslim atau semua orang muslim termasuk saya wajib mempelajari Islam, dikarenakan jangan sampe kita jadi orang muslim yang ikut-ikutan aja dikarenakan ortu kita muslim ya kita juga muslim dong atau kan lingkungan kita kebanyakan muslim masa kita ga muslim ntar beda dong ya kalaupun kaya gitu juga ga salah-salah amat soalnya siapa tahu saya juga kaya gitu, hehe.  

2. Seorang muslim wajib meyakini kebenaran ajaran Islam

Nah ini dia kalau nt masuk islam tapi nt ga yakin sama ajarannya, terus kenapa nt masuk islam kan aneh juga yah. Tanya deh sama diri nt sendiri nt dah yakin belum.

3. Seorang muslim wajib mengamalkan ajaran Islam

Setelah ada ilmunya dan yakin kan enak ngamalinnya, jangan sampe hanya teori aja amalnya ga ada. Kaya pengen makan cuma ngomong doang tapi ga makan kapan kenyangnya mas bro.....

4. Seorang muslim wajib mengajarkan agama Islam

Sampaikan lah walau hanya satu ayat.
kewajiban mengajarkan Islam itu bukan hanya para ustad dan ustdjah loh atau para kiayi yang ada di pesantern doang. Tapi setiap pribadi muslim itu wajib mengajarkan tentang islam kepada setiap orang, jangan takut salah yang kita tahu aja. karena islam itu luas tiadak hanya terpaku pada masalah Fikih aja. kita mengajarkan untuk memberikan salam kepada anak kita ketika ketemu orang atau ketika masuk rumah itu juga udah mengajarkan ajaran islam. 

5. Seorang muslim wajib membela Islam

Yah seorang muslim harus kudu dan wajib membela Islam, dikarenakan sudah menjadi sunatullah kalau akan menegakan kebenaran itu pasti ada tantangannya.

demikian saudara-saudara muslimku, Khutbah yang ane tangkep tadi pas jumatan semoga bermanfaat bagi kita semua terutama buat saya.

 kalau ada yang salah itu sudah pasti kesalahan dalam pengetikan kalaua ada yang benar itu datangnya dari Allah. mohon masukannya.

Haturnuhun


Rabu, 03 Juli 2013

Kujang (senjata orang sunda)

 Pendahuluan
Jawa adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Jawa semata karena di sana ada orang Sunda yang berdiam di bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat). Mereka (orang Sunda) mengenal atau memiliki senjata khas yang disebut sebagai kujang. Konon, bentuk dan nama senjata ini diambil dari rasa kagum orang Sunda terhadap binatang kud hang atau kidang atau kijang yang gesit, lincah, bertanduk panjang dan bercabang, sehingga membuat binatang lain takut.

Apabila dilihat dari bentuk dan ragamnya, kujang dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang ciung (kujang yang bentuknya menyerupai burung ciung); (2) kujang jago (kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago); (3) kujang kuntul (kujang yang bentuknya menyerupai burung kuntul); (4) kujang bangkong (kujang yang bentuknya menyerupai bangkong (kodok)); (5) kujang naga (kujang yang bentuknya menyerupai ular naga); (6) kujang badak (kujang yang bentuknya menyerupai badak); dan (6) kudi (pakarang dengan bentuk yang menyerupai kujang namun agak “kurus”). Sedangkan, apabila dilihat dari fungsinya kujang dapat pula dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan); (2) kujang sebagai pakarang (kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk berperang); (3) kujang sebagai pangarak (alat upacara); dan (4) kujang pamangkas (kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk memangkas, nyacar, dan menebang tanaman).

Struktur Kujang
Sebilah kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu: (1) papatuk atau congo, yaitu bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil; (2) eluk atau siih, yaitu lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik tubuh lawan; (3) waruga yaitu badan atau wilahan kujang; (4) mata[1], yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta; (5) tonggong, yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang; (6) tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; (7) paksi, yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip; (8) selut, yaitu ring yang dipasang pada ujung gagang kujang; (9) combong, yaitu lubang yang terdapat pada gagang kujang; (10) ganja atau landaian yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah ujung kujang; (11) kowak atau sarung kujang yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan dapat menambah daya magis sebuah kujang; dan (12) pamor berbentuk garis-garis (sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas waruga kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping sebagai penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun[2].

Sebagai catatan, terdapat beberapa pengertian mengenai kata pamor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pamor adalah: baja putih yang ditempatkan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya atau lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Basa Sunda karangan Satjadibrata (1954:278) disebutkan bahwa pamor adalah “ngaran-ngaran gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun oge cahaya” yang artinya “pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar (baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat diartikan cahaya). Dalam bahasa Kawi, berarti campuran atau percampuran. Dan, dalam Enskilopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) disebutkan bahwa pamor adalah permukaan bilah keris yang dipercaya mengandung khasiat baik atau khasiat buruk. Pamor yang berkhasiat baik adalah pamor yang dapat memberi keselamatan kepada pemilik atau pemakainya. Sedangkan pamor yang berhasiat buruk adalah pamor yang membawa sial atau ingin membunuh musuh atau bahkan pemiliknya sendiri.

Selain itu, Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) juga menyebutkan bahwa pamor berarti benda-benda yang berasal dari luar angkasa yang digunakan sebagai bahan pembuat kujang. Benda-benda luar angkasa dapat dibedakan menjadi: (1) meteorit, yaitu benda yang mengandung besi dan nikel yang bila dijadikan kujang akan berwarna putih keabu-abuan (pamor bodas). Pamor ini berkhasiat memberikan keselamatan; (2) siderit, yaitu benda yang hanya mengandung baja sehingga bila dijadikan kujang akan berwarna hitam (pamor hideung). Pamor ini biasanya berkhasiat buruk dan membahayakan; dan (3) aerolit, yaitu benda yang apabila telah dijadikan kujang akan berwarna kuning (pamor kancana).

Pamor yang terdapat pada senjata kujang diperkirakan berjumlah sekitar 87 jenis, yaitu: kembang pala, saleunjeur nyere, kenong sarenteng, malati sarenteng, padaringan leber, hujan mas, kemban lo, batu demprak, ngulit samangka, kembang lempes, malati nyebar, simeut tungkul, sinom robyong, beas mawur, baralak ngantay, sagara hieum, nuju gunung, rambut keli, mayang ligar, kembang kopi, tunggul wulung, kembang angkrek, tundung, sungsum buron, simbar simbar, sangga braja, poleng, ombak sagara, pulo tirta, manggada, talaga ngeyembeng, keureut pandan, tambal wengkon, huntu cai, bawang sakeureut, cucuk wader, gunung guntur, gajih, sanak, ngarambut, raja di raja, janus sinebit, kota mesir, lintang kemukus, kembang tiwu, sisit sarebu, tunggak semi, oray ngaleor, pari sawuli, sumur sinaba, selo karang, lintang purba, sumber, prabawa, pangasih, raja kam kam, riajah, bala pandita, pancuran mas, sumur bandung, adeg tilu, tangkil, kendagan, buntel mayit, kembang pakis, dua warna, karabelang, manggar, pandhitamangun suka, borojol, bugis, gedur, tunggak semi, tambol, tumpuk, sekar susun, huntu simeut, raja temenang, pulo duyung, bulan lima, pupus aren, wulan wulan, ruab urab, singkir ros tiwu, dan rante.

Pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, orang yang ahli dalam membuat kujang disebut Guru Teupa. Dalam proses pembuatan sebilah kujang seorang Guru Teupa harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar kujang dapat terbentuk dengan sempurna. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah mengenai waktu untuk memulai membuat kujang yang dikaitkan dengan pemunculan bintang di langit atau bintang kerti. Selain itu, selama proses pengerjaan kujang Guru Teupa harus dalam keadaan suci dengan cara melakukan olah tapa (puasa) agar terlepas dari hal-hal yang buruk yang dapat membuat kujang yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Dan, seorang Guru Teupa harus memiliki kesaktian yang tinggi agar dapat menambah daya magis dari kujang yang dibuatnya. Sebagai catatan, agar sebuah kujang memiliki daya magis yang kuat, biasanya Guru Teupa mengisinya dengan kekuatan gaib yang dapat bersifat buruk atau baik. Kekuatan gaib yang bersifat buruk atau jahat biasanya berasal dari roh-roh binatang, seperti harimau, ular, siluman dan lain sebagainya. Sedangkan kekuatan gaib yang bersifat baik biasanya berasal dari roh para leluhur atau guriyang.

Kelompok Pemilik Kujang
Konon, pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan status sosialnya[3] dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya hanya digunakan untuk bertani dan berladang.

Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut, kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama, kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh negeri.

Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu, Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang, Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.

Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang, Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk kaum perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).

Cara Membawa Kujang
Sebagai sebuah senjata yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan-kekuatan magis tertentu, maka kujang tidak boleh dibawa secara sembarangan. Ada cara-cara tertentu bagi seseorang apabila ia ingin pergi dengan membawa senjata kujang, diantaranya adalah: (a) disoren, yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara disoren ini biasanya adalah kujang yang bentuknya lebar (kujang galabag), seperti: kujang naga atau kujang badak; (b) ditogel, yaitu dibawa dengan cara diselipkan pada sabuk bagian depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara demikian biasanya adalah kujang yang bentuknya ramping (kujang bangking), seperti kujang ciung, kujang kuntul, kujang bangkong, dan kujang jago; (c) dipundak, yaitu dibawa dengan cara dipikul tangkaian di atas pundak, seperti memikul tumbak. Kujang yang dibawa dengan cara demikian adalah kujang pangarak, karena memiliki tangkai yang cukup panjang; dan (d) dijinjing, yaitu membawa kujang dengan cara ditenteng atau dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini biasanya adalah kujang pamangkas atau kujang yang tidak memiliki kowak atau warangka.

Nilai Budaya
Pembuatan kujang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk kujang yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah kujang yang indah dan sarat makna. (pepeng)







Foto: http://www.geocities.com
Sumber:
Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

R. Satjadibrata. 1954. Kamus Basa Sunda. Citakan ka-2. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K.

Edi S Ekadjati (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya

Kamus Umum Basa Sunda. 1975. Bandung: Ternate.

[1] Mata pada kujang melambangkan Mandala, yang menurut agama Sunda Wiwitan adalah merupakan “dunia” yang akan dilalui oleh setiap manusia, yaitu: Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Kama, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Sama dan Mandala Agung. Pada masa Kerajaan Pajajaran jumlah mata pada sebilah kujang bergantung pada status pemiliknya. Misalnya, kujang yang bermata sembilan hanya dimiliki oleh Raja, kujang yang bermata tujuh hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang yang bermata lima hanya dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis, dan Bupati Pakuan.

[2] Racun yang digunakan untuk menambah khasiat atau tuah sebuah kujang biasanya terbuat dari peurah atau “bisa binatang” dan getah tumbuh-tumbuhan. Peurah biasanya diambil dari ular tiru, ular tanah, ular gibug, dan kala jengking kalajengking. Sedangkan getah tumbuhan biasanya diambil dari akar leteh, geutah caruluk (enau), dan serbuk daun rarawea.


[3] Tingkatan status sosial dalam masyarakat Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran, adalah sebagai berikut: (1) Raja; (2) Lengser dan Brahmesta; (3) Prabu Anom (putera mahkota); (4) Bupati Panekes dan Balapati; (5) Girang Seurat; (6) Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan; (7) Patih, Patih Tangtu, dan Matri Paseban; (8) Lulugu; (9) Kanduru; (10) Sambilan; (11) Jaro dan Jaro Tangtu; (12) Baresan, Guru, dan Pangwereg; dan (13) Kokolot.

Cara otomatis posting blog ke facebook

Facebook RSSGraffiti 2.0 Terbaru | Cara otomatis posting blog ke facebook mudah dan cepat - Posting Kolombloggratis.Org kali ini bertujuan untuk update status facebook secara otomatis ketika sobat mengupdate artikel baru di blog / website sobat tanpa perlu membuka facebook, Aplikasi yang akan kita gunakan adalah RSSGraffiti 2.0 yang mungkin kedengarannya sudah tidak asing lagi bagi sobat, postingan artikel terbaru blog / website sobat otomatis akan dishare sendiri ke akun facebook dengan menggunakan aplikasi RSSGraffiti 2.0 dengan cara kerjanya adalah lewat postingan RSS blog / website dan di integrasikan ke facebook. Untuk cara menggunakan aplikasinya sangat mudah dilakukan dan yakinlah bahwa sobat bisa melakukan, di kalangan blogger aplikasi ini sudah tidak asing lagi, Berikut perhatikan dan ikuti Cara Otomatis Posting Blog Ke Facebook dengan mudah dan cepat,...
Cara otomatis posting blog ke facebook
1.     Login akun facebook
2.     Silakan buka RSS GRAFITTI TO FACEBOOK
3.     Klik Add New Publishing Plan
4.     Isi publishing plan dengan nama yang sesuai 
5.     Klik Create Publishing Plan
6.     Klik Add New 
7.     Ketik dan isikan alamat RSS blog 
ganti alamat Url dengan Url blog sobat
Example www.contoh.blogspot.com/rss.xml
8.     Selanjutnya lik Add Source
9.     Mengatur Update Frequency
10. Mengatur Maksimum Post Per Update
11. Mengatur Post Order Per Update
12. Klik Save / Simpan
13. Klik Add New pada bagian target
14. Isi kolom dengan memilih facebook sobat
15. Klik Save / Simpan
16. Klik tombol Off menjadi On
www.saingetna.blogspot.com minta maaf karena tidak memberi gambar untuk tutorial kali ini, tetapi semoga saja sobat bisa paham dengan isi artikel terbaru tentang  Cara otomatis posting blog ke facebook dan bermanfaat untuk tambahan materi buat sobat setia Kolombloggratis.Org di seluruh indonesia,...