HAMPIR setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah awal puasa dan berhari raya. Pemerintah dan pengurus lembaga-lembaga Islam seperti ormas disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan Ramadhan dan Syawal tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat sebagai pengikut setia acap kali dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan Ormas serta lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda.
Selayaknya hal ini tidak menjadikan perpecahan pada umat Islam walaupun tidak jarang karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul kesalahpahaman dan gesekan-gesekan di antara masyarakat. Masing-masing menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas atau lembaga yang diikutinya dan menganggap salah yang lain, tanpa mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan patokan sebagai pentuan awal dan akhir puasa oleh masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.
Metode penentuan
Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan yang digunakan oleh pihak yang ber-ijtihad. Selama ini dikenal dua metode yang utama dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari interpretasi terhadap Alquran maupun hadis yang menjelaskan tentang tata cara memulai mengakhiri puasa.
Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan yang digunakan oleh pihak yang ber-ijtihad. Selama ini dikenal dua metode yang utama dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari interpretasi terhadap Alquran maupun hadis yang menjelaskan tentang tata cara memulai mengakhiri puasa.
Metode rukyah menggunakan pengamatan langsung dengan mata (rukyah bil-ain), sementara metode hisab menggunakan pengamatan tak langsung dengan mengandalkan hitungan ilmiah (rukyah bil-ilmi). Meski begitu, kedua metode ini tetap memakai Ilmu Hisab atau Ilmu Falak dalam prosesnya masing-masing. Hanya saja metode rukyah masih memakai pengamatan fisik sebagai final keputusan sedangkan metode hisab cukup dengan perhitungan ilmiah semata tanpa perlu lagi membuktikan dengan pengamatan fisik.
Dalam menentukan masuknya awal bulan kelompok yang berpedoman pada rukyat murni yang menetapkan awal bulan hijriah hanya observasi hilal semata, menghasilkan istimbat hukum apabila hilal tampak pada saat observasi, maka ditetapkan tanggal 1 bulan baru keesokan harinya dan apabila bulan tidak tampak maka di-istikmal-kan (disempurnakan) 30 hari bulan yang sedang berjalan.
Metode yang kedua adalah metode hisab murni berpedoman pada konsep wujudul hilal, yaitu konsep yang menyatakan bahwa keberadaan hilal tidak perlu di-rukyat tetapi cukup dengan perhitungan saja, karena apabila hilal sudah ada secara perhitungan maka dianggap sudah ada secara substansi walaupun tidak mungkin dilihat baik karena terlalu rendah atau tertutup awan, konsep ini sangat berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu.
Kementerian Agama RI sebagai lembaga negara yang berwenang menetapkan awal Ramadhan secara resmi dalam sistem ketatanegaraan kita menggunakan metode imkanur rukyah (kemungkinan hilal dapat di-rukyat) dalam penentuan awal bulan qamariah. Metode ini menyatakan bahwa hilal dianggap terlihat dan keesokannya dapat ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila: Pertama, ketika matahari terbenam, altitude (ketinggian) bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat; Kedua, jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan; Ketiga, ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku. Hal ini didasarkan pada pengalaman astromonis seluruh dunia yang belum pernah dapat mengobservasi hilal jika belum memenuhi kriteria di atas dan tentunya dengan bukti yang otentik.
Hilal 1434 Hijriah
Awal Ramadhan 1434 Hijriah ini, kembali memunculkan perbedaan sebagai konsekuensi dari perbedaan metode yang digunakan. Hasil perhitungan Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Aceh merilis bahwa ijtima’ awal Ramadhan terjadi pada 8 Juli 2013 pukul 14:16:07 WIB, ketinggian hilal berada pada posisi 0 derajat 06 menit 42 detik di atas ufuk untuk markaz Observatorium Hilal Pantai Lhoknga, Aceh Besar, dengan posisi hilal berada pada azzimuth 287 derajat 42' 48" dari titik utara. Hilal berada di sebelah kanan matahari atau sebelah kiri pemantau ketika matahari terbenam.
Awal Ramadhan 1434 Hijriah ini, kembali memunculkan perbedaan sebagai konsekuensi dari perbedaan metode yang digunakan. Hasil perhitungan Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Aceh merilis bahwa ijtima’ awal Ramadhan terjadi pada 8 Juli 2013 pukul 14:16:07 WIB, ketinggian hilal berada pada posisi 0 derajat 06 menit 42 detik di atas ufuk untuk markaz Observatorium Hilal Pantai Lhoknga, Aceh Besar, dengan posisi hilal berada pada azzimuth 287 derajat 42' 48" dari titik utara. Hilal berada di sebelah kanan matahari atau sebelah kiri pemantau ketika matahari terbenam.
Beberapa daerah lainnya di Indonesia, ketinggian hilal juga rendah, seperti Jakarta 0 derjat 28' 20", Surabaya 0 derajat 21' 50", Medan 0 derajat 06' 30" bahkan untuk sebagian Indonesia bagian tengah dan timur piosisi hilal masih negatif atau di bawah ufuk, seperti Samarinda -0 derajat 0' 47", Gorontalo -0 derajat 01' 30", Ambon -0 derajat 01' 04" dan Jayapura -0 derajat 04' 31". Sampai saat ini, hilal yang dapat dilihat dan dibuktikan secara astronomis adalah pada ketinggian 2 derajat.
Merujuk pada keadaan hilal 29 Syakban, maka awal Ramadhan tahun ini rentan terjadi perbedaan karena berbeda dalam metode istimbath hukum sebagaimana penulis sebutkan tadi. Beberapa kelompok masyarakat yang menggunakan metode hisab dengan konsep wujudul hilal-nya menyatakan bahwa 1 Ramadhan akan jatuh pada Selasa 9 Juli 2013, karena secara substansi hilal sudah ada di atas ufuk walaupun belum mungkin di-rukyat. Konsep wujudul hilal ini belum berlaku untuk wilayah sebagian Indonesia tengah dan timur.
Bagi para ahli falak yang tetap berkonsekuensi pada keharusan rukyat, maka keputusan 1 Ramadhan harus terlebih dulu menunggu hasil rukyat yang dilaksanakan pada Senin bakda Magrib, 8 Juli mendatang. Jikalau hilal tampak dilihat maka Ramadhan jatuh pada esok harinya yaitu Selasa 9 Juli, tetapi jika hilal tidak berhasil terpantau, maka Ramadhan di-istikmal-kan (disempurnakan) 30 hari dan itu berarti 1 Ramadhan jatuh pada Rabu 10 Juli 2013.
Kementerian Agama RI mencoba “menyatukan” khilafiyah ini dengan menggunakan konsep imkanurrukyat. Secara metode imkanur-rukyat, Ramadhan tahun ini kemungkinan jatuh pada Rabu 10 Juli 2013, karena metode ini mensyaratkan ketinggian hilal yang memungkinkan untuk di-rukyat harus berada minimal 2 derajat di atas ufuk sedangkan ketinggian hilal saat itu hanya 0 derajat 06' 42" di atas ufuk untuk markaz Pantai Lhoknga, dan posisi hilal di seluruh Indonesia juga masih berada di bawah dua derjat bahkan minus.
Akan tetapi, jika hilal terlihat pada 29 Syakban, maka awal Ramadhan bisa saja jatuh pada Selasa 9 Juli dan tentunya akan ada kajian lebih lanjut dari para ahli falak terhadap perubahan keriteria ketinggian hilal dalam metode imkanur-rukyat. Sedangkan Hari Raya Idul Fitri kali ini Insyaalah akan sama, yaitu pada Kamis 8 Agustus 2013, karena ketinggian hilal pada 29 Ramadhan telah berada pada posisi 2 derajat 53 aksen. Keputusan 1 Syawal tetap menunggu hasil Sidang Itsbat Menteri Agama RI berdasarkan laporan Tim Rukyat yang telah disebar di seluruh Indonesia.
Upaya penyatuan
Upaya penyatuan kriteria awal bulan Hijriah itu sudah lama dilakukan pemerintah. Akan tetapi kesepakatan ini tak kunjung datang. Perbedaan interpretasi terhadap dalil masih menjadi kendala utama. Pemahaman yang sama tentang dalil yang melandasinya menjadi faktor utama dan insya Alah setelah itu, sistem kalender yang bisa diterima secara global dan berbasis pada data ilmu pengetahuan yang kuat akan lahir seiring dengan persamaan persepsi ini. Selama perbedaan ini masih muncul, masyarakat muslim hendaknya tetap menjaga silaturrahmi dalam menanggapinya dan tentunya lebih cerdas memilih dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah sesuai dengan ketetapan Allah dan RasulNya.
Upaya penyatuan kriteria awal bulan Hijriah itu sudah lama dilakukan pemerintah. Akan tetapi kesepakatan ini tak kunjung datang. Perbedaan interpretasi terhadap dalil masih menjadi kendala utama. Pemahaman yang sama tentang dalil yang melandasinya menjadi faktor utama dan insya Alah setelah itu, sistem kalender yang bisa diterima secara global dan berbasis pada data ilmu pengetahuan yang kuat akan lahir seiring dengan persamaan persepsi ini. Selama perbedaan ini masih muncul, masyarakat muslim hendaknya tetap menjaga silaturrahmi dalam menanggapinya dan tentunya lebih cerdas memilih dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah sesuai dengan ketetapan Allah dan RasulNya.
* Alfirdaus Putra, SHI, Tenaga Hisab Rukyat Kanwil Kemenag Aceh dan Sekretaris Bidlitbang Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Aceh. Email: alfirdausaceh@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar